Minggu, 16 September 2012
BEKISAR, PELUNG DAN AYAM ADUAN
Dalam agribisnis peternakan unggas (ayam, itik, puyuh, merpati); pakan merupakan komponen dengan nilai prosentase paling tinggi, yakni mencapai 70% dari total komponen biaya. Sisanya adalah bibit, penyusutan kandang dan alat, obat-obatan, dan tenaga kerja. Karenanya, penghematan biaya koponen pakan, misalnya dengan penggunaan pakan alternatif, bisa meningkatkan nilai keuntungan pada peternakan unggas. Komponen pakan pada ternak unggas adalah karbohidrat. Biasanya dipenuhi dari bahan jagung dan gaplek, protein nabati berupa bungkil dan protein hewani dari tepung ikan. Dalam agribisnis modern yang bersifat massal, misalnya peternakan itik pedaging, kalkun, ayam broiller, ayam petelur dll, penghematan komponen pakan hampir mustahil dilakukan. Hingga parapeternak modern ini berusaha untuk efisien pada pengelolaan usaha. Namun dalam peternakan unggas skala kecil dan menengah, masih ada satu cara untuk bisa meraih keuntungan dengan nilai prosentase yang relatif tinggi dibanding komponen pakan yang sudah pasti sekitar 70%. Caranya dengan memelihara unggas hias (pet). Misalnya ayam kate, ayam bekisar, ayam pelung, ayam aduan dll. Pasar dari komoditas ini memang sangat terbatas dan kecil. tetapi nilai keuntungan yang didapat jauh lebih tinggi dari peternakan unggas konsumsi.
Harga pokok ayam pedaging bobot 1,5 kg. misalnya mencapai Rp 10.000,- per ekor. Harga jualnya paling tinggi hanyalah Rp 12.000,- di tingkat peternak atau Rp 15.000,- di tingkat konsumen. Sementara ayam bekisar, pelung atau aduan (bangkok), dengan harga pokok sama, per ekor (jantannya) bisa dijual dengan harga minimal Rp 50.000,- di tingkat peternak. Betinanya bisa dijual sebagai calon induk atau ayam potong dengan harga standar ayam kampung Rp 20.000,- per ekor. Hingga secara ekonomis, agribisnis unggas pet, jauh lebih menguntungkan dibanding dengan unggas konsumsi. Lebih-lebih kalau peternak sabar untuk menjual ayam jago mereka setelah mencapai umur lebih dari 1 tahun. Pada saat itu, bekisar, pelung atau ayam aduan kualitas standar, akan berharga sekitar Rp 200.000,- per ekor. Namun ayam yang kualitasnya jelek akan dihargai sama dengan ayam kampung biasa untuk dipotong, dengan harga hanya sekitar Rp 25.000,- per ekor. Disamping bekisar, pelung dan ayam aduan, sebenarnya masih banyak ayam jenis pet yang lain. Misalnya ayam kate, ayam batik, ayam kipas, ayam balenggek dari Sumbar, ayam Yokohama yang berekor sangat panjang dll.
Bekisar adalah hasil silangan induk jantan ayam hutan hijau (Gallus varius) dengan induk betina ayam kampung. Belakangan induk betinanya sangat bervariasi, mulai dari ayam kate, ayam broiler, ayam bangkok dll. Ayam bekisar disenangi "kalangan elite" di Indonesia karena kokoknya tetap khas ayam hutan hijau, tetapi ayamnya sendiri jinak. Selama ini ayam hutan hijau sulit sekali dijinakkan. Kecuali hasil tangkaran yang sudah mencapai F4 atau lebih (kalau ayam hutan liar diangap sebagai F0). Hasil silangan induk jantan ayam hutan hijau dengan induk betina ayam kampung, hanya akan menghasilkan bekisar sekitar 25%. Kalau induk betina itu berhasil menetaskan 10 ekor anak ayam, maka 5 diantaranya betina. Dari 5 yang jantan, sekitar 2 atau 3 akan menjadi "ayam bakekok". Yang disebut ayam bakekok adalah bekisar yang kokoknya sangat kagok. Ayam hutan bukan, ayam kampung juga tidak. Hingga kadang-kadang juga disebut sebagai ayam kagok. Jadi kalau kita punya 100 anak ayam hasil silangan dari 10 induk betina, maka yang diharapkan akan jadi bekisar hanya sekitar 25. Dari angka itu, yang akan jadi bekisar top, kurang dari 5. Hingga wajar kalau harga standar bekisar muda sudah di atas Rp 200.000,- per ekor.
"Penemu" ayam bekisar adalah masyarakat pulau Kengean di sebelah tenggara pulau Madura. Di sana masyarakatnys secara iseng mengawinkan induk betina ayam kampung mereka dengan jago ayam hutan hijau. Cara perkawinan ala Kangean ini sangat unik. Kebetulan mereka sudah punya jago ayam hutan hijau yang relatif jinak. Hingga pemeliharaannya cukup dengan diikat salah satu kakinya dengan tali kain. Kepada jago ayam hutan hijau itu didekatkan ayam hutan hijau betina. Setelah ayam hutan jantan itu bermaksud untuk mengawininya, maka disusupkan ayam kampung betina di bawah ayam hutan betina tersebut. Untuk itu, sebuah lubang dangkal telah dipersiapkan di "lokasi perkawinan" tersebut. Hingga yang terjadi adalah, jago ayam hutan hijau itu "nangkring" dan mematok ayam hutan betina, tetapi yang dikawininya adalah ayam kampung. Teknik perkawinan ala Kangean ini disebut sebagai "kawin dodokan". Selanjutnya, ayam betina kampung yang sudah dikawini jago ayam hutan itu, di pantatnya diikatkan tempurung kelapa sebagai "celana". Maksudnya agar dia tidak dikawini oleh ayam jago kampung. Telur yang dihasilkan oleh ayam betina yang dikawini ayam hutan ini, kalau menetas pasti akan menjadi bekisar sekitar 25 %.
Karena teknik perkawinan ala Kangean ini sangat rumit, maka dikembangkanlah teknik perkawinan ala Surakarta. Di sini, jago ayam hutan hijau ditaruh dalam satu kurungan dengan ayam betina kampung. Mula-mula mereka ditaruh dalam dua kurungan yang berbeda, tetapu ditaruh berdekatan. Setelah kelihatan bahwa ayam hutan jantan itu naksir, baru mereka disatukan. Perkawinan ala Surakarta ini terjadi secara alamiah. Kendalanya, ayam hutan jantan hanya mau naksir ayam betina kampung yang berperawakan kecil (mirip ayam hutan betina) dan yang warna bulunya "lurik" cokelat abu-abu. Teknik perkawinan untuk menghasilkan bekisar cara mutakhir adalah dengan kawin suntik. Penyilangan ini harus terus menerus dilakukan untuk menghasilkan bekisar, sebab hasil silangan ayam hutan dengan ayam kampung akan selalu mandul. Sampai saat ini, bekisar tetap diproduksi oleh para penangkar. Namun "gaungnya" di masyarakat sudah tidak seperti tahun-tahun 1980an. Di lain pihak, muncul pula upaya untuk melestarikan keberadaan ayam hutan hijau yang habitat aslinya semakin rusak. Upaya itu adalah dengan "domestifikasi". Salah satu institusi yang sudah mulai tampak berhasil menjinakkan ayam hutan hijau adalah Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta.
Beda dengan bekisar yang proses penyilangannya sangat rumit, maka ayam pelung dan ayam aduan adalah produk peternakan biasa. Ayam pelung adalah ayam asli Cianjur, Jawa Barat, yang kokoknya sangat panjang mirip suara melolong-lolong. Kokok semacam ini juga dimiliki oleh ayam belenggek dari Sumetera Barat. Sosok ayam pelung beda dengan ayam kampung biasa. Ukuran tubuhnya termasuk raksasa, hingga bobot per ekor jago pelung, bisa mencapai 4 sampai 5 kg. Ciri khas lain dari ayam pelung adalah bilah jenggernya yang sangat khas. Warna bulu jago pelung merah pada "rawis" leher maupun ekornya, sementara bulu sayap dan "lancurnya" hitam. Warna bulu betinanya, biasanya cokelat atau hitam. Meskipun saat ini pemeliharaan ayam pelung sudah merata ke seluruh Indonesia, tetapi populasinya sangat kecil. Konsentrasi pemeliharaan ayam pelung tetap ada di sekitar kota Cianjur di Jawa Barat. Hingga ayam ini telah identik dengan kab. Cianjur. Di sini kontes pelung tahunan dilakukan secara rutin. Mirip dengan sapi karapan dari Madura atau domba Garut, ayam pelung di Cianjur sangat dimanjakan. Selain diberi pakan gabah kualitas baik, ia juga diberi cincangan daging belut, disuapi kuning telur dan diberi jamu. Maksudnya agar kokoknya nyaring dan panjang.
Yang juga banyak dibudidayakan masyarakat secara khusus adalah ayam aduan. Ayam ini lazim disebut ayam bangkok. Sebab ayam jenis ini memang merupakan ras asli dari Thailand atau ayam siam. Beda dengan bekisar dan pelung yang akan dinikmati suara kokoknya, maka ayam aduan dipelihara untuk diadu dalam arena sabung ayam. Di Thailand, sabung ayam sudah menjadi tradisi yang sangat kuat. Hingga selain ada farm-farm khusus ayam aduan, di mana-mana juga ada "arena adu ayam". Yang disebut arena memang betul-betul bangunan yang dibuat melingkar dan khusus digunakan untuk sabung ayam. Ayam aduan yang ada di Indonesia, merupakan introduksi ayam bangkok dari Thailand. Sampai sekarang masih banyak peternak yang secara rutin mendatangkan induk betina maupun jantan ayam bangkok, langsung dari Thailand. Para penangkar ini akan terus menerus menjaga kemurnian galur asli ras siam ini. Namun ayam aduan yang ada di masyarakat, kebanyakan sudah merupakan silangan antara induk jantan ayam bangkok, dengan induk betina ayam kampung. Ayam aduan hasil silangan ini, dianggap oleh para pakar sabung ayam sebagai lebih lincah dan kuat dibanding dengan ayam bangkok "totok".
Agribisnis berupa farm ayam pets, baik bekisar, pelung, aduan maupun ayam-ayam hias lainnya, mempunyai prospek yang cukupbaik. Namun agribisnis demikian tidak cukup hanya mengandalkan hal-hal yang sifatnya teknis budidaya. Penangkar yang paling lihai sekalipun, akan kalah dengan penangkar yang keahlian teknisnya pas-pasan, tetapi mempunyai keahlian dalam memasarkannya. Pasar ayam pet demikian memang sangat khusus dan tertutup. Lebih-lebih ayam aduan yang pasar utamanya para "botoh" sabung ayam. Kegiatan sabung ayam di Indonesia, kecuali di Bali, memang dilarang. Sebab biasanya arena ini juga menjadi sarana perjudian. Itulah sebabnya pasar ayam aduan lebih eksklusif dibanding dengan pasar bekisar atau pelung. Kiat yang digunakan oleh para penangkar ikan hias dalam memasarkan produknya, juga digunakan pula oleh para peternak ayam pet. Misalnya dengan menitipkan bekisar atau pelung kualitas istimewanya pada seorang pejabat tinggi. Lalu dilansirlah berita di media massa bahwa pejabat tinggi itu telah membeli koleksi bekisar atau pelung produksinya dengan harga Rp 500.000.000,- per ekor. Hingga nama farm itu pun kian berkibar. (R) * * *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar