JAKARTA - Praktisi pendidikan
Arief Rachman mengatakan, posisi pelajar mulai dari pendidikan dasar
hingga menengah bahkan sampai Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini
berada dalam jalur yang sangat sulit.
Hal tersebut terjadi, menurut Arief Rachman, karena para guru dan hakim
yang semestinya bisa menjadi teladan ternyata prilaku dan tindakan guru
dan hakim jauh dari keteladanan.
"Bagaimana mau jadi teladan, kalau para guru datangnya terlambat dan
para hakim gampang disuap," kata Arief Rachman, di gedung Nusantara IV,
komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (1/10).
Problem yang sama lanjut Arief, juga berlangsung pada tataran kehidupan
berbangsa dan bernegara. "Sebagian masyarakat bersikap tidak lagi
menghormati bangsa dan negaranya hanya gara-gara segelintir aktor di
pusat kekuasaan yang tidak menghargai rakyat," katanya.
Demikian juga halnya dengan sikap rakyat terhadap Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang oleh sebagian pengamat dinilai tidak
harmonis. "Terhadap fenomena ini ada variabel penting yang harus
diteliti terlebih dahulu, yakni media massa," ujarnya.
Media massa, kata Arief, terkesan lebih sering menjelek-jelekan SBY.
"Atau mungkin SBY yang memang tidak menghargai rakyatnya. Ini perlu
sebuah studi untuk menjawabnya," saran dia.
Selain itu, dia juga mengritisi sikap pengelola negara dalam mengurus
pendidikan di Indonesia karena tidak konsisten dalam melaksanakan tujuan
mulia dari pendidikan.
"Tujuan mulia itu dari pendidikan itu membentuk manusia Indonesia yang
berakhlak mulia dan berkepribadian. Berakhlak mulia dan berkepribadian
itu adalah soal watak, tapi dalam prakteknya, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan lebih mengedepankan pembangunan otak," kata dia.
Demikian juga halnya kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan
aspek produktifitas tapi mengabaikan proses untuk sebuah produktifitas.
"Padahal sebuah proses itu sangat penting ketimbang produktifitas.
Karena lemah dengan proses, maka pendidikan berjalan sangat instan tanpa
makna," ungka Arief.
Kekeliruan mendasar lainnya adalah tidak pernah dipakainya sebuah hasil
evaluasi sebagai sarana untuk memperbaiki kegagalan pendidikan di
Indonesia.
"Padahal hasil evaluasi adalah data objektif tentang satu masalah. Tapi
pemerintah lebih senang dengan pola meniru habis produk luar sehingga
hasil evaluasi tidak berdaya-guna untuk membenahi pendidikan di
Indonesia," imbuh Arief Rachman. (fas/jpnn)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar