Senin, 01 Oktober 2012

Siswa Kehilangan Figur Teladan

JAKARTA - Praktisi pendidikan Arief Rachman mengatakan, posisi pelajar mulai dari pendidikan dasar hingga menengah bahkan sampai Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini berada dalam jalur yang sangat sulit.

Hal tersebut terjadi, menurut Arief Rachman, karena para guru dan hakim yang semestinya bisa menjadi teladan ternyata prilaku dan tindakan guru dan hakim jauh dari keteladanan.

"Bagaimana mau jadi teladan, kalau para guru datangnya terlambat dan para hakim gampang disuap," kata Arief Rachman, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (1/10).

Problem yang sama lanjut Arief, juga berlangsung pada tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. "Sebagian masyarakat bersikap tidak lagi menghormati bangsa dan negaranya hanya gara-gara segelintir aktor di pusat kekuasaan yang tidak menghargai rakyat," katanya.

Demikian juga halnya dengan sikap rakyat terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang oleh sebagian pengamat dinilai tidak harmonis. "Terhadap fenomena ini ada variabel penting yang harus diteliti terlebih dahulu, yakni media massa," ujarnya.

Media massa, kata Arief, terkesan lebih sering menjelek-jelekan SBY.  "Atau mungkin SBY yang memang tidak menghargai rakyatnya. Ini perlu sebuah studi untuk menjawabnya," saran dia.

Selain itu, dia juga mengritisi sikap pengelola negara dalam mengurus pendidikan di Indonesia karena tidak konsisten dalam melaksanakan tujuan mulia dari pendidikan.

"Tujuan mulia itu dari pendidikan itu membentuk manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan berkepribadian. Berakhlak mulia dan berkepribadian itu adalah soal watak, tapi dalam prakteknya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih mengedepankan pembangunan otak," kata dia.

Demikian juga halnya kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan aspek produktifitas tapi mengabaikan proses untuk sebuah produktifitas.

"Padahal sebuah proses itu sangat penting ketimbang produktifitas. Karena lemah dengan proses, maka pendidikan berjalan sangat instan tanpa makna," ungka Arief.

Kekeliruan mendasar lainnya adalah tidak pernah dipakainya sebuah hasil evaluasi sebagai sarana untuk memperbaiki kegagalan pendidikan di Indonesia.

"Padahal hasil evaluasi adalah data objektif tentang satu masalah. Tapi pemerintah lebih senang dengan pola meniru habis produk luar sehingga hasil evaluasi tidak berdaya-guna untuk membenahi pendidikan di Indonesia," imbuh Arief Rachman. (fas/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar